Sabtu, 25 April 2009

Gangguan Pemahaman Bahasa pada Anak Down Syndrome

Definisi

Anak dengan kondisi Down Syndrome mengalami keterbelakangan secara fisik dan mental karena Down Syndrome merupakan salah satu dari penyebab retardasi mental, dimana anak-anak dengan retardasi mental mengalami keterlambatan dalam berbahasa-bicara. Keterbelakangan mental ini diakibatkan oleh adanya gangguan pada sistem saraf pusat dan dalam terapi wicara kondisi seperti ini disebut dengan Dislogia.

Dalam Terminology of Comunication Disorder (1989), “alogia is inability to speak due to central nervous system”, yang artinya alogia adalah ketidakmampuan untuk berbicara yang diakibatkan oleh gangguan pada sistem saraf pusat. Sedangkan definisi dari Down Syndrome sendiri adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom (Cuncha, 1992). Menurut SLB Dian Grahita (2007), Down Syndrome adalah kelainan kromosom pada seorang anak. Seseorang yang mengalami down syndrome memiliki 47 kromosom dalam setiap sel tubuhnya, sedang orang biasa hanya memiliki 46 kromosom. Down Syndrome bukanlah suatu penyakit maka tidak menular, karena sudah terjadi sejak dalam kandungan.

Etiologi

Sejak ditemukannya kelainan pada down syndrome tahun 1959, maka saat ini perhatian lebih dipusatkan pada kejadian non-disjunctional sebagai penyebabnya. Non-disjunctional merupakan kejadian dimana kromosom tidak sesuai dengan jumlah semestinya. Kejanggalan terjadi kromosom ke-21 yang seharusnya sepasang ada 2 namun berjumlah 3. Hal ini mengakibatkan terjadinya down syndrome. Sampai saat ini penyebab non-disjunctional belum diketahui, namun diduga penyebabnya adalah genetik, radiasi, infeksi, autoimun, usia ibu, serta usia ayah (Soetjiningsih, 1995).

Genetik. Diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap non-disjunctional. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan DS.

Radiasi. Menurut Uchida (1981) yang dikutip kembali oleh Pueschel, menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan DS, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.

Infeksi. Infeksi juga diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya DS. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan non-disjunctional.

Autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow tahun 1966 yang dikutip kembali oleh Pueschel secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibody tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan DS dengan ibu kontrol yang usianya sama.

Usia ibu. Usia ibu diatas 35 tahun, diperkirakan akan terjadi perubahan hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunctional pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon dan peningkatan secara tajam kadar Luteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba – tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunctional.

Usia ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan DS mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak setinggi dengan usia ibu.

Faktor lain yang diperkirakan juga masih menjadi penyebab dari DS adalah gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia dan frekuensi koitus (Soetjiningsih, 1995).

Karakteristik

Karakteristik yang paling jelas pada anak yang menderita down syndrome adalah keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak (Olds, et all. London, 1996). Ciri yang tampak seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala kecil (microchephaly), pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia), seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epichantal folds), tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar, lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatologlyphics).

Selain dari ciri yang tampak, anak dengan kondisi Down Syndrome juga mengalami gangguan bahasa-bicara. Untuk berbicara kita membutuhkan bahasa, yang merupakan rangkaian dari kata-kata. Untuk merangkai kata-kata inilah yang umumnya sulit dilakukan oleh anak Down Syndrome. Anak dengan Down Syndrome mengalami masalah yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal, sehingga mengalami penerimaan yang lambat dibandingkan dengan anak normal. Selain penerimaan yang lambat, mereka juga memilik langit-langit mulut yang lebih sempit dan lidah lebar. Sehingga otot mulut mereka lemah. Namun demikian umumnya mereka dapat dengan baik berkomunikasi dengan isyarat, gerak ekspresi dan suara (Fadhila, 2008).

Prevalensi

Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB), Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008).

Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008).

Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya DS pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan DS adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan. Angka kemungkinan munculnya DS makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).

Prognosis Teoritik

Sangat penting untuk dimengerti bahkan seorang ahli pun tidak memastikan apa yang sebenarnya diinginkan oleh seseorang dengan Down Syndrome. Anak-anak dan remaja dengan Down Syndrome memiliki kemampuan yang luas. Seseorang yang mengalami Down Syndrome dapat sangat sehat, atau malah sebaliknya tergantung pada obat-obatan dan memiliki masalah social dalam setiap tahap kehidupannya. Setiap orang dengan Down Syndrome merupakan individu yang unik (Schoenstadt, 2008).

Menurut Dr. Radianah MM (1989), prognosa anak down syndrome adalah pertumbuhan badan tidak akan normal, tanda kedewasaan jasmani bisa tercapai dan kehidupan seksual bisa normal tetapi tetap mandul.

Menurut C.Njiokiktjen (2005), anak downsyndrome mengalami gangguan bahasa reseptif karena pemahaman bahasa lebih jelek daripada bahasa ekspresif. Kemampuan reseptif dan ekspresif sangat rendah (delay atau tertinggal), seringkali diikuti dengan gangguan nonverbal (mengalami juga keterbelakangan mental). Dalam bentuk yang parah didapatkan asymbolic mental retardation atau "mute autistic". Pemahaman bahasa dan bicara sama sekali tak nampak. Selain itu, sebagian dari mereka juga mengalami verbal-auditory agnosia atau congenital word deafness (bentuk ringan dari phonologic perception problem). Sedangkan gangguan bahasa semantik (pengertian) - pragmatik (penggunaan) sering dimulai bahasa dengan echolalia yang banyak. Anak dengan down syndrome juga mengalami gangguan kelancaran bicara, atau gagap. Kadang mereka mengalami mutisme selektif (tidak mau bicara dalam situasi atau tempat tertentu). Paling banyak dari mereka mengalami gangguan artikulasi dan gangguan perkembangan bahasa dan bicara.

Metode

Metode bahasa yang digunakan oleh penulis dalam menangani kasus yang diangkat pada Karya Tulis Ilmiah ini adalah Metode Stimuli Multimodal, metode ini diambil dari buku Afasia Edisi Kedua yang ditulis oleh Reni Dharmaperwira-prins (2002).

Pada dasarnya orang dapat menerapkan beberapa modalitas dan tidak harus membatasi diri pada satu modalitas saja dalam pelaksanaan suatu tugas. Berbagai modalitas masukan dapat diterapkan sekaligus, misalnya dengan memberikan kalimat atau kata yang disajikan secara lisan maupun tulisan. Dalam cara ini, modalitas yang gangguannya lebih ringan diterapkan lebih dahulu, baru diikuti oleh modalitas yang gangguannya lebih berat. Dengan demikian fungsi yang satu memudahkan fungsi yang lain. Akan tetapi, penting disadari benar apa yang sedang dilatih dengan cara ini (Dharmaperwira-prins, 2002).

Tujuan dari metode ini adalah untuk melatih pemahaman bahasa seseorang agar menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Langkah-langkah yang dilakukan pada metode ini adalah dengan memberikan masukan secara auditori dan visual. Secara visual, kita memberikan masukan berupa gambar yang telah kita pilih sebagai materi terapi. Sedangkan secara auditori, kita menyebutkan nama gambar materi terapi yang kita berikan. Kemudian untuk mengetahui out put dari klien, kita meminta klien untuk memberi respon dengan menunjuk gambar yang telah kita sediakan tadi. Apabila dalam menunjuk klien melakukan kesalahan, maka instruksi yang sama kita berikan sampai dengan klien memahami apa yang kita sampaikan.